A.
Sejarah Tradisi Islam
Islam datang ke Indonesia ketika
penduduknya menganut agama hindu, budha, dan sebagian masih menganut paham
animisme dan dinamisme. Islam dibawa oleh para da’I dari Gujarat dengan damai
tanpa melalui peperangan dan pertumpahan darah. Penduduk setempat sudah
memiliki berbagai budaya dan tradisi yang sebagian berdasarkan ajaran dari
agama yang mereka anut dan sebagian lainnya berdasarkan ajaran para leluhur.
B.
Tradisi Islam Yang Bernafaskan Islam
Banyak sekali budaya dan tradisi local
yang berkembang di nusantara yang bernafaskan islam, dalam arti budaya local
yang telah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran islam. Di antara budaya tradisi lokal
yang bernafaskan islam adalah :
1. Wayang
Dalam bahasa berarti “ayang-ayang” atau
bayangan. Karena yang terlihat adalah bayangannya dalam kelir(tabir kain putih
sebagai gelanggang permainan wayang). Bisa juga diberi pernjelasan wayang
adalah pertunjukan yang disajikan dalam berbagai bentuk, terutama yang mengandung
unsur pelajaran(wejangan). Pertunjukan ini diiringi dengan teratur oleh
seperangkat gamelan.
Wayang pada mulanya dibuat dari kulit
kerbau, hal ini dimulai pada zaman Raden Patah. Dahulu lukisan seperti
bentuk manusia. Karena bentuk wayang berkaitan dengan syariat agam islam , maka
para wali mengubah bentuknya. Dari yang mula lukisan wajahnya menghadap lurus
kemudian dimiringkan.
Bersamaan dengan berdirinya Kerajaan
Islam Demak, maka wujud wayang geber diganti menjadi wayang kulit secara
terperinci satu persatu tokoh-tokohnya. Sumber cerita dalam mementaskan wayang
diilhami dari Kitab Ramayana dan Mahabarata. Wali songo mengubahnya menjadi
cerita-cerita keislaman, sehingga tidak ada unsur kemusyrika di dalamnya. Salah
satu lakon yang terkenal dalam pewayangan ini adalah jimad kalimosodo yang diambil dari istilah
islam kalimat syahadat. Dan masih banyak lagi istilah-istilah islam yang
dipadukan dengan istilah pewayangan. Wayang ini awalnya dipakai oleh para wali
sebagai media dakwah, agar masyarakat saat itu mau menerima islam.
2. Marawis
Marawis adalah salah satu jenis
"band tepuk" dengan perkusi sebagai alat musik utamanya. Musik ini
merupakan kolaborasi antara kesenian Timur Tengah dan Betawi, dan memiliki
unsur keagamaan yang kental. Itu tercermin dari berbagai lirik lagu yang
dibawakan yang merupakan pujian dan kecintaan kepada Sang Pencipta.
Kesenian marawis berasal dari negara
timur tengah terutama dari Yaman. Nama marawis diambil dari nama salah satu
alat musik yang dipergunakan dalam kesenian ini. Secara keseluruhan, musik ini
menggunakan hajir (gendang besar) berdiameter 45 Cm dengan tinggi 60-70 Cm,
marawis (gendang kecil) berdiameter 20 Cm dengan tinggi 19 Cm, dumbuk atau
(jimbe) (sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, memiliki diameter yang
berbeda pada kedua sisinya), serta dua potong kayu bulat berdiameter sepuluh
sentimeter. Kadang kala perkusi dilengkapi dengan tamborin atau krecekdan
[Symbal] yang berdiameter kecil. Lagu-lagu
yang berirama gambus atau padang pasir dinyanyikan sambil diiringi jenis
pukulan tertentu.
3.Tradisi Lebaran Ketupat
Dalam sejarah, Sunan Kalijaga
adalah orang yang pertama kali memperkenalkannya pada masyarakat Jawa. Beliau
membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat
dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut,
di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari
daun kelapa muda. Setelah sudah selesai dimasak, kupat tersebut diantarkan ke
kerabat yang lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan.
Ketupat sendiri menurut para
ahli memiliki beberapa arti, diantaranya adalah mencerminkan berbagai macam
kesalahan manusia, dilihat dari rumitnya anyaman bungkus ketupat. Yang kedua,
mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala
kesalahan, dilihat dari warna putih ketupat jika dibelah dua. Yang ketiga
mencerminkan kesempurnaan, jika dilihat dari bentuk ketupat. Semua itu
dihubungkan dengan kemenangan umat Muslim setelah sebulan lamanya berpuasa dan
akhirnya menginjak hari yang fitri.
4. Upacara Sekaten dan Grebeg Mauludan
Sekaten merupakan sebuah upacara
kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak
kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran
Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo
dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat
Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk
ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari
keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat
gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (Jw: ditabuh) menandai perayaan sekaten.
Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud /
Grebeg maulud . Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga
diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan
upacara sekaten yang sesungguhnya.
Upacara
Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa
yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan
Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas).
Pada hari hari tersebut raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa
syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan
Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan
gunungan estri (lelaki dan perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.
5. Tradisi Tahlilan
Tahlilan adalah ritual/upacara
selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan
di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang
biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan
selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua,
ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.
Kata "Tahlil" sendiri
secara harfiah berarti berizikir dengan mengucap kalimat tauhid "Laa
ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah kecuali Allah).
Upacara tahlilan ditengarai
merupakan praktik pada abad-abad transisi yang dilakukan oleh masyarakat yang
baru memeluk Islam, tetapi tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang lama.
Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit bukan hanya terjadi pada masyarakat pra
Islam di Indonesia saja, tetapi di berbagai belahan dunia, termasuk di jazirah
Arab. Oleh para da'i(yang dikenal wali songo) pada waktu itu, ritual yang lama
diubah menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia, tahlilan masih
membudaya, sehingga istilah "Tahlilan" dikonotasikan memperingati dan
mendo'akan orang yang sudah meninggal. tahlilan dilakukan bukan sekadar
kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak lagi merasa
perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul seperti itu.
jika pun tahlilan masih diselenggarakan sampai sekarang, itu karena setiap anak
pasti menginginkan orangtuanya yang meninggal masuk sorga. sebagaimana
diketahui oleh semua kaum muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk
orangtuanya adalah impian semua orang, oleh karena itu setiap orangtua
menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka. dari
sinilah, keluarga mendoakan mayit, dan beberapa keluarga merasa lebih senang
jika mendoakan orangtua mereka yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak
orang(berjama'ah). maka diundanglah orang-orang untuk itu, dan
menyuguhkan(sedekah) sekadar suguhan kecil(buat yang kaya)bukanlah hal yang
aneh, apalagi tabu, apalagi haram. suguhan(sedekah) itu hanya berhak untuk
orang miskin,yatim piatu,orang cacat,orang yang kesulitan .berkaitan dengan
menghargai tamu yang mereka undang sendiri dan orang yang berhak mendapat
sedekah yaitu :fakir miskin,orang cacat,anak yatim,orang lanjut usia. maka,
jika ada anak yang tidak ingin atau tidak senang mendoakan orangtuanya, maka
dia (atau keluarganya) tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum
syareat. tidak makruh tapi haram. anak seperti ini pasti juga orang yang yang
tidak ingin didoakan jika dia telah mati kelak.
Kegiatan ini bukan kegiatan
yang diwajibkan. orang boleh melakukannya atau tidak. tahlilan bukanlah
kewajiban tapi bid'ah, dan adalah dusta dan mengada-ada jika tahlilan ini
dihitung sebagai rukun. tahlilan adalah pilihan bebas bagi setiap orang dan
keluarga berkaitan dengan keinginan mendoakan orangtua mereka ataukah tidak.
tahlilan juga bukanlah kegiatan yang harus dilakukan secara berkumpul-kumpul di
rumah duka dan oleh karenanya dituduhkan membebani tuan rumah. tahlilan itu
mendoakan mayit dan itu bisa dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah, di satu
tempat yang sama atau di mana-mana. menuduhkan tahlil sebagai bid'ah adalah
benar dan melawan keyakinan kaum muslim bahwa anak saleh yang berdoa untuk
orangtuanya adalah cita-cita setiap orang.
6. Tradisi Nyadran
Berbeda dengan tradisi ziarah
yang ditujukan kepada tokoh-tokoh ulama atau wali yang dianggap keramat,
sebagai penghormatan dan upaya mengambil berkah, subjek ziarah dalam nyekar ini
umumnya adalah makam leluhur keluarga: kakek-nenek, orang-tua, dan saudara.
Nyekar berasal dari kata Jawa
sekar yang berarti kembang atau bunga. Dalam praktiknya, memang ziarah ini
melibatkan penaburan bunga di atas makam yang dikunjungi. Bahkan sebagian
masyarakat ada yang menyertakan dupa dan kemenyan. Tetapi aspek ritual yang
terakhir ini, belakangan ini sudah jarang dilakukan, meski tidak berarti hilang
sama sekali.
Di dalam nyakar, yang pasti dan
umum terjadi, adalah (besik) pembersihan makam dan pembacaan himpunan doa atau
bagian dari surat Al-Quran, yang pendek-panjangnya, bervariasi satu sama lain.
Ini juga membuat waktu yang dibutuhkan dalam nyekar berbeda-beda: dari yang
singkat sekitar belasan menit, hingga hitungan jam, bahkan ada yang seharian
penuh.
Jika mereka yang nyekar ini
tidak ada yang bisa membaca doa sendiri --umumnya dalam bahasa Arab-- di
pemakaman umum biasanya ada juru kunci atau guru agama yang bisa membantu
memimpin dan memandu pembacaan ini.
Nyekar bisa dilakukan kapan pun
sepanjang tahun. Misal pada waktu tahun pertama dari anggota keluarga yang
meninggal, di mana ikatan-ikatan emosional dengan orang yang telah mendahului
itu masih sangat kuat. Nyekar juga biasa dilakukan seseorang menjelang pelaksanaan
upacara lingkaran hidup seperti perkawinan, di mana ia menjadi semacam
permohonan doa restu.
Nyekar ke leluhur ini juga umum
dilakukan oleh mereka yang ingin memohon doa restu dan kekuatan batin karena
menghadapi suatu tugas dan tanggung jawab yang berat, akan bepergian jauh, atau
karena ada hajat dan keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang besar
sekali.
Tetapi yang sering, terpenting
dan terutama, nyekar dilakukan sekitar seminggu sebelum bulan Ramadan tiba atau
setelah lebaran, pada minggu pertama Syawal. Ini bisa dilakukan secara pribadi
maupun bersama-sama dengan anggota keluarga lain, baik laki-laki maupun
perempuan.
Tradisi nyekar sebelum Ramadan
ini muncul dari keinginan umat Islam untuk memasuki Bulan Suci dengan keadaan
bersih dan penuh “kekuatan”. Mereka ingin segala kesalahan dan kekeliruan yang
telah dilakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja, dimaafkan oleh teman-teman,
saudara-saudara, dan seluruh keluarga agar mereka bisa menjalani puasa dengan
lancar, tenang, dan tulus.
Permohonan maaf ini juga mereka
tujukan pada anggota keluarga dan leluhur mereka yang sudah meninggal sekaligus
untuk meringankan beban anggota-anggota keluarga yang sudah wafat itu.
Nyekar akan mengingatkan diri
mereka bahwa setiap manusia kelak juga akan mengalami kematian.
Di beberapa tempat, kegiatan
nyekar ini didahului dengan semacam slametan kecil yang diisi dengan pembacaan
doa, dzikir-tahlil, atau bagian Quran lainnya dan diakhiri dengan makan
bersama. Kenduri ini biasa digelar di rumah, langgar, masjid atau di tempat
makam itu sendiri. Karena dilakukan pada bulan Sya’ban atau dalam Bahasa Jawa
disebut Sadran, maka sebagian kalangan menyebut praktik ini sebagai nyadran.
Ruwah juga dipakai oleh orang Jawa untuk menyebut Sya’ban.
Sulit untuk melacak, kapan
tradisi nyekar atau nyadran ini muncul. Diyakini bahwa tradisi ini
diperkenalkan oleh para wali yang di satu sisi meneruskan tradisi penghormatan
kepada roh leluhur di kalangan masyarakat Jawa yang masih menganut ajaran
Hindu-Budha saat itu dan di sisi lain menyelaraskan dan membingkainya dengan
ajaran Islam.
Nyekar atau nyadran karena itu
bisa dikatakan suatu bentuk dari pribumisasi Islam, akomodasi Islam pada
tradisi lokal. Secara teologis, tradisi ini memang masih memiliki hubungan
dengan akidah Islam tentang kematian
bahwa setelah manusia meninggal, rohnya akan meninggalkan jasad dan akan
berada di alam barzakh hingga nanti hari kebangkitan atau hari kiamat.
7. Tari Saman
Tari Saman adalah sebuah tarian Suku
Gayo yang biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam
adat. Syair dalam tarian saman mempergunakan Bahasa Gayo. Selain itu biasanya
tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam
beberapa literatur menyebutkan tari saman di Aceh didirikan dan dikembangkan
oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo di Aceh Tenggara.
Tari Saman merupakan salah satu
media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini mencerminkan pendidikan,
keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.
Sebelum saman dimulai yaitu
sebagai mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua cerdik pandai atau pemuka
adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) atau nasihat-nasihat yang
berguna kepada para pemain dan penonton.
Lagu dan syair pengungkapannya
secara bersama dan berkesinambungan, pemainnya terdiri dari pria-pria yang
masih muda-muda dengan memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut dapat
juga dipentaskan, dipertandingkan antara grup tamu dengan grup sepangkalan (dua
grup). Penilaian dititik beratkan pada kemampuan masing-masing grup dalam
mengikuti gerak, tari dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak lawan.